Minggu, 26 Oktober 2008

solar cell

embuatan Sel Surya Silikon

Pembuatan Sel Surya Silikon : Sang Primadona

Ketika trio Bell Laboratories, Chapin, Fuller dan Pearson, menemukan sebuah fenomena p-n­ junction yang dapat mengubah radiasi sinar matahari menjadi tenaga listrik pertama kalinya pada tahun 1954, material yang dipergunakan berupa silikon (Si). Sayangnya fenomena yang mereka sebut sebagai ‘photocell’ kala itu masih belum menarik banyak perhatian kalangan peneliti untuk dijadikan sebuah mata kajian serius. Dugaan penulis pribadi ialah karena saat itu booming penelitian dalam bidang fisika zat padat (solid state physics) atau zat mampat (condensed matter) tengah mewabah. Ditambah lagi dengan semakin terbukanya teknologi semikonduktor dan teknologi vakum membuka industrialisasi besar-besaran produk elektronika terutama untuk kalangan rumah tangga pada era 1950-1960-an.

Minimnya perhatian pada fenomena photocell berlangsung hingga hampir 20 tahun lamanya sampai meletusnya krisis minyak bumi selama pecahnya perang Arab-Israel di awal tahun 1970-an akibat embargo minyak oleh negara Arab terhadap dunia Barat.

Tersentaknya dunia atas krisis minyak tersebut berimbas pada kebijakan mencari sumber-sumber energi baru selain bersandar pada minyak bumi/energi fosil di mana ‘photocell’ menjadi salah satu sumber energi baru yang dilirik. Nama photocell yang kemudian berubah menjadi solar cell/sel surya dengan sangat cepat menjadi salah satu topik utama penelitian di bidang energi baru dan terbaharukan. Hal ini sangat jelas beralasan pada kemampuannya mengubah energi sinar matahari menjadi energi listrik secara langsung dan mudah serta sangat menjanjikan. Yang sama pentingnya ialah, munculnya topik penelitian di bidang ini telah berhasil menyadarkan masyarakat pada masa itu bahwa energi matahari memiliki potensi yang selama ini belum teroptimalkan dalam memenuhi kebutuhan energi dunia.

Sel surya dengan berbahan baku silikon hingga saat ini masih merupakan jenis sel surya yang paling banyak diteliti, dikembangkan serta dipasarkan. Selain dilatarbelakangi oleh penemuan pertama sel surya, mapannya pengetahuan akan silikon, terbuktinya kehandalan silikon dalam aplikasi sel surya, dan jumlah cadangan silikon di perut bumi berupa pasir silica yang berlimpah menjadi beberapa bahan pertimbangan utama. Belum ditambah oleh dukungan infrastruktur industri semikonduktor yang memang mengambil material silikon sebagai bahan dasar utama produk elektronika yakni microchip atau microprocessor.

Mantapnya silikon sebagai sel surya yang paling banyak diproduksi patut berterima kasih pada dukungan industri semikonduktor tersebut. Pada masa-masa awal industrialisasi sel surya, silikon sebagai bahan dasar sel surya merupakan bahan buangan dari industri semikonduktor. Silikon yang tidak terpakai pada industri semikonduktor dikarenakan, misal, kadar kemurnian silikon yang rendah, dipakai pada industri sel surya yang memang tidak terlalu membutuhkan material silikon dengan kemurnian yang sangat tinggi. Baru pada beberapa tahun belakangan inilah beberapa pabrik pemurnian silikon mulai memproduksi bahan material silikon khusus untuk aplikasi sel surya dengan berkaca pada pesatnya produksi sel surya silikon di dunia saat itu, maupun proyeksi pemasaran sel surya di masa depan. Saat ini, sel surya jenis silikon menempati pangsa pasar sekitar 82-85% pasar sel surya dunia.

Sebagaimana disinggung di atas, sel surya pertama memanfaatkan p-n junction silikon, yang menjadi cara kerja fundamental sel surya jenis apapun. Silikon jenis p (p-type) disambung dengan silikon jenis n (n-type) menghasilkan sambunagn p-n. p-type ini maksudnya silikon dengan kelebian muatan positif (surplus hole) dan n-type merupakan material silikon berkelebihan muatan negatif (surplus elektron). Adanya sambungan p-n ini memungkinkan kedua muatan positif (hole) maupun negatif (elektron) dapat berpindah dan mengalir ke arah yang berlawanan. Jika kedua ujung sambungan p-n ini dihubungkan dengan sebuah rangkaian listrik, maka elektron dan hole dapat mengalir ke rangkaian. Sinar mataharilah (photon) yang menggerakkan elektron dan hole tersebut menuju rangkaian tadi. (Mekanisme sel surya ini disederhanakan demikian saja, mekanisme sel surya yang lebih detail ditulis pada artikel Melihat prinsip kerja sel surya lebih dekat (Bagian Pertama). Gambar dibawah ini merupakan struktur komponen dasar sel surya pada umumnya. Penulis mendapatkannya pada link berikut.

solar-cell-description.jpg

Proses pembuatan sel surya silikon ini terbilang paling sederhana diantara semua jenis sel surya. Meski merupakan sebuah proses dalam dunia semikonduktor yang identik dengan proses high-tech, namun jika mencermati proses pembuatan sel surya secara lebih detil, kesan tersebut berangsur-angsur hilang. Penulis kebetulan pernah mengunjungi sebuah pabrik –tepatnya sebuah industri kecil-menengah- yang memproduksi sel surya di sebuah kota industri di Korea Selatan; dari pembuatan silikon n type hingga enkapsulasi sel surya yang siap dijual. Tidak terlampau rumit mengerjakannya, meski perlu disadari bahwa industri ini membutuhkan investasi yang tidak kecil.

Tahapan umum pembuatan sel surya silikon :

1. Pemesanan dan spesifikasi silikon wafer yang dibutuhkan.

Pembuatan sel surya silikon ini bermula dari pemesanan silikon khusus untuk aplikasi sel surya yang dikenal sebagai “Cz-Si wafers (Czochralski Silicon wafers) di mana Cz merupakan proses utama pembuatan silikon wafer dari bijih silikon. Yang disebut dengan khusus ialah silikon wafer ini telah dimodifikasi menjadi silikon p-type dari pabrikan. Silikon wafer untuk sel surya ini berbentuk bujur sangkar dengan sudut yang diratakan, sebagaimana ditunjukkan pada di bawah. Dimensi silikon wafer ini ialah 10-15 cm dengan ketebalan antara 200-350 micron (0.2-0.35 mm).

solar-cell.jpg

1-copy.jpg

2. Pembersihan permukaan silikon wafer.

Silikon wafer yang dipesan ini memiliki tipikal permukaan yang sangat kasar akibat pemotongan atau pengerjaan selama di pabrik pembuatan wafer. Untuk itu, permukaan silikon di etch (dikikis) dengan menggunakan larutan asam atau basa. Cukup dengan merendam silikon wafer ke dalam larutan tersebut, maka permukaan silikon wafer kira-kira sedalam 10 mikron akan terkikis secara merata.

2.jpg

3. Teksturisasi permukaan silikon wafer.

Agar silikon wafer yang dipergunakan dapat secara optimal menyerap sinar matahari, pada umumnya permukaan silikon diberi perlakuan khusus berupa teksturisasi dengan menggunakan larutan basa NaOH atau KOH dengan konsentrasi, temperatur maupun lama perlakuan tertentu. Dengan mencelupkan wafer ke dalam laruan tersebut, permukaan silikon menjadi kasar dengan tekstur menyerupai piramida. Tekstur wafer seperti piramida ini dapat mengurangi pemantulan sinar matahri yang dating serta meningkatkan penyerapan sinar matahari oleh permukaan wafer.

3.jpg

4. Difusi fosfor dan pembuatan lapisan n-type silikon.

Fosfor dikenal luas sebagai elemen tambahan (dopant) untuk membuat semikonduktor silikon berjenis n atau silikon n-type. Setelah proses teksturisasi, silikon wafer ini dimasukkan ke dalam dapur pemanas bertemperatur tinggi yang dilengkapi dengan larutan POCl3 sebagai sumber fosfor. Dengan meniupkan gas inert nitrogen ke dalam larutan, maka uap fosfor akan keluar dan dapat dialirkan ke dalam dapur. Suhu di dalam furnace dijaga sekitar 900-9500C sehingga uap fosfor tersebut dapat berdifusi masuk ke dalam silikon melalui sisi sisi permukaannya. Proses difusi biasanya dihentikan setelah 10-15 menit hinga terbentuknya lapisan silikon n-type di permukaan silikon dengan ketebalan lapisan sekitar 10-20 micron. Lapisan n-type ini berfungsi sebagai pelengkap sambungan p-n pada struktur sel surya dan lapisan konduktif yang mengalirkan elektron ke rangkaian listrik.

4.jpg

5. Penghilangan lapisan silikon n-type pada bagian sisi wafer.

Sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4, lapisan silikon n-type terdapat pula di bagian sisi wafer yang bila ini terjadi maka ia dapat menghubungkan dua permukaan wafer. Untuk itu lapisan silikon n-type di sisi wafer perlu dihilangkan dengan memotong lapisan tersebut atau yang lebih presisi ialah dengan menggunakan plasma yang mengikis habis lapisan silikon n-type ini.

5.jpg

6. Pembuatan lapisan anti-refleksi.

Selain teksturisasi untuk memaksimumkan penyerapan sinar matahari, maka penggunaan lapisan anti-refleksi (anti-reflection coating/ARC) di atas lapisan silikon n-type. Lapisan ARC ini merupakan lapisan transparan/tembus cahaya yang dapat meneruskan sinar matahari yang jatuh di permukaan wafer namun tidak memantulkannya. Indeks refraksi lapisan ARC yang besar ini-lah yang menyebabkan ia tidak memantulkan sinar matahari. Material untuk ARC ini biasanya ialah TiO2 /titanium dioksida atau Magnesium Fluorida (MgF2). Teknik pembuatannya dapat memanfaatkan teknik penguapan kimia (chemical vapor deposition/CVD) yang mereaksikan uap senyawaan titanium atau magnesium organik yang dicampur dengan uap air pada suhu yang relatif rendah yakni 2000C.

6.jpg

7. Metalisasi.

Agar dapat dihubungkan dengan kabel, silikon diberi lapisan metal yang konduktif sehingga dapat mengalirkan elektron/hole dari sel surya. Logam yang cocok untuk bertuas sebagai konduktor ini ialah Ag (perak). Ia memiliki sifat konduktifitas yang tinggi, memiliki daya rekat ke silikon wafer yang sangat baik serta berdaya tahan tinggi. Perak yang dipasang di silikon wafer sangat tipis dan pemasangannya menggunakan metode screen printing. Pasta larutan perak dioleskan di atas sebuah pola dengan bagian bagin tertentu yang memungkinkan pasta larutan perak mengisi permukaan wafer. Setelah selesai dioleskan di atas wafer, dengan pemanasan dan pengeringan 100-2000C, pasta akan mengering. Proses metalisasi ini dikerjakan pula di bagian belakang silikon wafer.

7.jpg

8.jpg

8. Pemanasan (co-firing).

Pemanasan pada suhu yang tinggi diperlukan untuk memantapkan lapisan metal konduktif karena masih terdapatnya residu/bahan bahan sisa organik selama pengeringan pada suhu rendah. Pada pemasan yang lebih tinggi, perak sebagai komponen konduktif menjadi semakin padat dan mampu mempenetrasi lapisan ARC dan akhirnya menyentuh lapisan silikon n-type tanpa merusak lapisan ARC sendiri. HIngga tahap ini, komponen sel surya sudah secara utuh terbuat.

9.jpg

9. Pengujian dan pemilihan sel.

Ini ialah tahap akhir dari pembuatan sel surya yakni menguji sel dan memeriksa efisiensi sel maupun akititas quality control lainnya.

10. Enkapsulasi dan pembuatan modul sel.

Sebagaimana disebutkan di awal, sel surya hanya berukuran 10×10 atau 15×15 cm. Agar sel dapat dipergunakan, dan menghasilkan daya yang bias dipasarkan, sel dirangkai menjadi sebuah modul yang lebih besar dan tersusun atas 20-30 sel. Dalam tahap ini, proses enkapsulasi modul dengan kaca/plastik dan pemasangan frame aluminum dikerjakan hingga siap untuk dipakai (lihat gambar modul surya di bawah). Tanpa enkapsulasi yang berfungsi pula sebagai pelindung sel surya terhadap lingkungan luar, sel atau modul tidak dapat dimanfaatkan secara optimal.

solar_panel.jpg

Sebagai penutup. Tulisan ini salah satunya saya tujukan untuk mengetahui secara umum bagaimana proses pembuatan sel surya jenis silikon yang paling banyak dijual di pasaran. Dan juga, atas banyaknya pertanyaan seputar bagaimana investasi untuk membuat sel surya silikon sendiri di Indonesia. Diharapkan, ada semacam gambaran umum mengenai kerumitan -atau justru kesederhanaan- proses pembuatan sel surya silikon sehingga menjawab pertanyaan apakah sel surya silikon dapat diproduksi sendiri di Indonesia.

Entri ini dituliskan pada Nopember 20, 2007 pada 12:09 pm dan disimpan dalam Pembuatan sel surya. yang berkaitan: , , , , , , , , .

macam dan type Solar Cell

Secara Umum, solar cell atau dikenal PV Module adalah media yg mengconversi energy surya (Irradiance
W/m2) menjadi Power (voltage - Current).Dengan dasar ini berbagai media diciptakan dengan karakteristik berdasar materi penyusunnya.
Silicon(setelah ditemukan bequarel 1826)dikenal paling ampuhdan sangat bagus dalam hal ini, tapi sejak harganya ygtinggi segala macam cara dilakukan.
1 silicon murni (tebalnya dalam 200-400 micro meter)
2. Poly crystalline (telah dicampur dengan bahan intrinsik lain)
3. Amorphous Silicon, bahan yg murah dengancharakteristik yg unik
4. Cadmium Teluride (CadTel) Campuran Cadmium sangatsensitif dalam merespon spectral dan irradian matahari
5. CIGS (Cupper Indium Diselinide) bahan ini sangatlentur dan effeciencynya cukup baik(3,4,5 adalah materi yg dikenal thin film tebalnya 800nanometer-1 micro meter)
6. Hydrogen, bahan ini diciptakan dengan concentratoryg cukup mahal, dan dgn keteliatian yg baik (lihatsitus)http://www.shec-labs.com/process.phpdalam pasaran (komersial)no1-5 yg banyak beredar,effecieny 20-28 % (no1-2), sedang 8-16 % utk (no3-5)kalau memilih sekali lagi, silikon murni (single ataupun poly cystalline) sangat mahal dibanding no3-5.thin film (no3-5) sangat menarik saat ini, mestisedikit rendah efficiencynya, tapi harganya jauh lebihmurah. serta karakteristiknya sangat baik utk daerahtropis.

Seperti diketahui, solar cell di operasikan pasa suhu 25-30 derajat diatas suhu test manufacture (STC/standar test condition : yakni 1000 w/m2 irradiance, 25 derajat celcius 1.5 air mass ) sehingga hampir semua solar cell akan mengalami perubahan secara segnifican saat di operasikan di actual condition. sehingga semua data baik itu effeciancy, power yg dihasilkan, temperature coefficient, fill factor yg terdapat pada manualnya akan tidak sama dgn actualnya saat dioperasikan. semua material akan mengalami penurunan efeciency power saat meningkat temperature operasinya khususnya materi Crystalline (singgle dan Poly) sehingga kurang tepat untuk Indonesia yg suhu operasinya module bisa 5-10 kali suhu abient /suhu rata2 di sekitar solar module. materi amorphous sangat yang mana pada kenaikan suhu operasi malah memberi recovery dari degradation efeciecny ini yg dikenal dengan annealing. nah berapa persen, kapan dlll secara khusus mungkin kita diskusikan lain waktu, artinya ini berpengaruh pada kemampuan energy production amorphous lebih baik utk daerah tropis dhn materi lain khususnya single/poly crystalline silicon. sekalilagi, lebih murah, dan lebih baik.

Jumat, 24 Oktober 2008

Teknologi terbaru media penyimpanan metan

Hong-Chai Zhou dan rekan-rekannya melaporkan hasil penelitian tentang pengembangan bahan yang mirip dengan spons dan mempunyai kemampuan sangat tinggi untuk menyimpan metan. Bahan tersebut mampu menampung hampir sepertiga lebih banyak dibandingkan dengan target yang ditetapkan departemen energi Amerika Serikat bagi kendaraan bermotor berbahan bakar metan. Laporan itu rencananya akan diterbitkan di jurnal American Chemical Society pada 23 Januari 2008.

Para peneliti tersebut menjelaskan kurang efektif, ekonomis dan amannya sistem penyimpanan gas metan di dalam kendaraan bermotor menjadikan penyebab utama kendaraan bermotor berbahan bakar metan tidak bisa bersaing dengan kendaraan konvensional.

Laporan tersebut menjelaskan mengenai pengembangan MOF jenis baru, yang disebut dengan PCN-14 dan memiliki luasan permukaan yang tinggi, lebih dari 2000 meter persegi per gram. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa bahan yang terbentuk dari sangkar di dalam cluster-cluster berskala nano, mempunyai kemampuan menyimpan gas metan 28% lebih tinggi dibandingkan target departemen energi Amerika Serikat.

Saat ini media penyimpanan gas metan menggunakan bahan kristalin yang berpori-pori banyak dan disebut dengan metal-organic frameworks (MOFs). Tetapi tidak satupun bahan tersebut yang mencapai target departemen energi Amerika Serikat.

Panel Surya Generasi Terbaru

Panel surya yang ada saat ini ada baru dapat mengubah 20 persen dari energi yang diambil menjadi listrik. Sedangkan panel surya yang terbaik hanya dapat mengambil 40 persen energi. Para peneliti di Idaho National Lab yang bekerja sama dengan Microcontinuum Inc serta University of Missouri kini melakukan terobosan dengan membuat panel surya yang mampu mengambil 80 persen tenaga listrik dari cahaya.

Proses pembuatannya adalah dengan menempelkan spiral kecil yang mengandung logam kedalam lembaran plastik. Setiap spiral nanoantenna ini berukuran 1/25 dari tebal rambut manusia.
Karena ukurannya ini, spiral ini dapat menyerap energi dalam infrared spektrum cahaya. Sinar matahari memancarkan banyak energi infrared, yang umumnya akan dilepas dalam bentuk panas dari radiasi oleh bumi.
Nanoantenna ini dapat mengambil energi baik dari sinar maupun panas yang dihasilkan bumi, dengan tingkat efisiensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan panel surya biasa.
Para ahli memperkirakan bahwa nanoantenna ini dapat menyerap hampir 80 persen energi matahari. Satu buah nanoantenna ini memang tidak berpengaruh, tetapi para ahli mampu merangkai sebanyak 10 juta nanoantenna dalam lingkaran berdiameter 6 inci, sehingga hasilnya akan membuat sebuah panel surya yang sangat efektif

Nanoteknologi di Thailand

Dr. Teerachai Pornsinsirak, yang menjabat sebagai Deputy Executive Director Research & Development Plicy, Planning & Strategy di Pusat Nanoteknologi Thailand tersebut. Beliau datang setelah terlebih dahulu mengontak Professor kami, Prof. French. Maksud kunjungan beliau ke lab kami adalah untuk melihat fasilitas fabrikasi mikroelektronika dan MEMS (Microelectromechanical System ) di Universitas kami di Delft, di samping untuk menjalin kerjasama berupa pertukaran mahasiswa atau karyawan.

Setelah salah seorang kolega kami memperkenalkan kepada beliau kegiatan riset di lab kami dalam bidang MEMS: Pressure sensor, resonator, dll., giliran beliau memberikan presentasi singkat tentang lembaga NANOTEC Thailand. NANOTEC Thailand sendiri baru berumur sekitar 4,5 tahun, didirikan Agustus 2003. Secara organisasi, NANOTEC berada di bawah National Science and Technology Development Agency (NSTDA) Thailand (http://www.nstda.or.th). NANOTEC merupakan salah satu di antara lima Pusat Teknologi yang berada di bawah NSTDA: BIOTEC (Pusat Bioteknologi), MTEC (Pusat teknologi Metal dan Material), NECTEC (Pusat Teknologi Elektronika dan Komputer), serta TMC (Pusat Management Teknologi) yang berumur lebih muda dari NANOTEC. NSTDA sendiri memiliki pegawai sejumlah 2200-an orang, dengan anggaran sejumlah 120 juta US Dollar per tahunnya. Nanotechnology is a highly multidisciplinary field, drawing from a number of fields such as applied physics, materials science, interface and colloid science, device physics, supramolecular chemistry (which refers to the area of chemistry that focuses on the noncovalent bonding interactions of molecules), self-replicating machines and robotics, chemical engineering, mechanical engineering, biological engineering, and electrical engineering. Grouping of the sciences under the umbrella of "nanotechnology" has been questioned on the basis that there is little actual boundary-crossing between the sciences that operate on the nano-scale. Instrumentation is the only area of technology common to all disciplines; on the contrary, for example, pharmaceutical and semiconductor industries do not "talk with each other". Corporations that call their products "nanotechnology" typically market them only to a certain industrial cluster.[1] Two main approaches are used in nanotechnology. In the "bottom-up" approach, materials and devices are built from molecular components which assemble themselves chemically by principles of molecular recognition. In the "top-down" approach, nano-objects are constructed from larger entities without atomic-level control. The impetus for nanotechnology comes from a renewed interest in Interface and Colloid Science, coupled with a new generation of analytical tools such as the atomic force microscope (AFM), and the scanning tunneling microscope (STM). Combined with refined processes such as electron beam lithography and molecular beam epitaxy, these instruments allow the deliberate manipulation of nanostructures, and lead to the observation of novel phenomena. Examples of nanotechnology include the manufacture of polymers based on molecular structure and the design of computer chip layouts based on surface science. Despite the promise of nanotechnologies such as quantum dots and nanotubes, real commercial applications have mainly used the advantages of colloidal nanoparticles in bulk form, such as suntan lotion, cosmetics, protective coatings, drug delivery,[2] and stain resistant clothing.
NANOTEC berdiri dengan modal awal 200.000 US Dollar, dimulai dari sebuah kantor. Di tahun pertamanya, mereka lebih sibuk dengan memformulasikan inisiatif nasional Thailand di bidang nanoteknologi, termasuk melakukan sosialisasi nanoteknologi kepada pengambil kebijakan, politisi, industri di Thailand, media massa Thailand, dan masyarakat luas. Di antara metode sosialisasi nanoteknologi yang dilakukan NANOTEC adalah melakukan road show ke Universitas, dan sekolah-sekolah di Thailand, selain juga melakukan Exhibition hasil penelitiannya ke masyarakat setiap tahun. Dr. Pornsinsirak bercerita bahwa pada eksibisi pertama NANOTEC, raja Thailand sendiri berkenan mengunjungi eksibisi ini, dan disiarkan secara langsung oleh TV Nasional Thailand selama 3 jam siaran. Diharapkan dengan begitu, setidaknya masyarakat awam pun pernah mendengar apa itu nanoteknologi, sekalipun tidak mengetahui detailnya. Pada saat kunjungan raja Thailand tersebut, NANOTEC antara lain memamerkan kemampuannya untuk menyusun molekul CO dengan STM (Scanning Tunneling Microscopy) membentuk tulisan nama Raja Thailand.

Di tahun-tahun berikutnya, NANOTEC mulai melakukan investasi untuk mengembangkan infrastruktur nanoteknologinya, berupa pembelian instrument-instrumen pengukuran dan fabrikasi. Investasi di tahun kedua berjumlah 2 Juta US Dollar, kemudian disusul tahun ketiga sejumlah 8 Juta US Dollar, dan tahun terakhir ini mereka menginvestasikan 10 Juta Dollar untuk pembelian alat-alat terbaru. Menurut Dr. Pornsinsirak, untuk pembelian SNOM (Scanning Near-Field Optical Microscopy), Raman Spectroscopy, dan AFM (Atomic Force Microscopy) saja, mereka menginvestasikan 500 ribu US Dollar.

Bidang-bidang Penelitian NANOTEC Thailand

Dari penjelasan Dr. Pornsinsirirak, penulis mendapatkan kesan bahwa sekalipun penelitian-penelitian nanoteknologi di NANOTEC Thailand sangat canggih dan menggunakan alat-alat terbaru, namun aplikasinya sangat praktis dan pragmatis serta diusahakan untuk menggunakan sumber daya alam yang terdapat di Thailand.

Ada tiga bidang penelitian yang dilakukan NANOTEC Thailand:
• Nano-Coating
• Nano-Encapsulation
• Nano-Devices

Dalam bidang nano-coating, NANOTEC menargetkan aplikasinya dalam industri tekstil dan pengolahan makanan. Bahan chitosan yang didapatkan dengan mudah dari kulit udang atau kepiting diolah untuk dijadikan nano-capsule dengan fungsi sebagai material yang dapat berubah fasa bergantung pada temperatur ruangan. Aplikasi nano-capsule chitosan ini antara lain untuk membuat bahan tekstil yang adaptif terhadap suhu sekelilingnya. Pada suhu yang panas, bahan mengembang untuk memudahkan sirkulasi udara yang pada gilirannya akan memudahkan penguapan keringat pada kulit badan, sehingga terjadi efek menyejukkan pada orang yang memakainya. Sebaliknya bila suhu sekelilingnya dingin bahan ini menjadi lebih padat dan merapat untuk mengurangi pertukaran kalor via konveksi dari tubuh pemakai ke lingkungan sekitarnya. Sementara di industri makanan dan pertanian, NANOTEC menargetkan coating untuk packaging antara lain buah durian. Diharapkan dengan coating material tertentu, efek bau durian dapat ditekan. Dalam nano-coating ini pula NANOTEC tengah mengembangkan insulation paint, semacam cat untuk insulasi panas.

Dalam bidang nano-encapsulation, NANOTEC menargetkan industri farmasi, kosmetika, dan makanan sebagai aplikasi penelitian mereka. Dalam kosmetika misalnya, NANOTEC tengah mengembangkan nanopartikel TiO2 untuk perawatan jerawat. NANOTEC berkonsentrasi pada penggunaan bahan-bahan organik, seperti herbal tradisional Thailand untuk jamu. Gamma-Oryzanol, misalnya, yang berasal dari beras, yang bermanfaat sebagai obat untuk a.k. menopausal symptoms, kecemasan, sakit perut, dan kolestorol tinggi, dikemas dalam suatu nanoenkapsulasi berupa Solid Lipid Nanoparticle (SLN). Penggunaan SLN meningkatkan solubilitas zat berkhasiat yang digunakan sebagai obat/jamu. Demikian pula zat aktif curcumin yang berasal dari kunyit, dienkapsulasi dengan Chitosan.

Dalam bidang nanodevices, NANOTEC menitikberatkan penelitiannya pada pembuatan sel surya (solar cell), khususnya yang berbahan organic. Sekalipun sel surya organic lebih rendah efisiensinya (maksimal 5%) daripada sel surya silicon Kristal tunggal atau Kristal majemuk (hingga 15%), namun biaya pembuatannya jauh lebih murah. NANOTEC meneliti terutama dari sisi ilmu bahan dan aspek pemrosesan lapisan tipis untuk menghasilkan elektronika organic dan elektronika plastik/polimer. Mereka juga tengah mengembangkan dye-sensitized solar cells, atau sel surya yang ditingkatkan efisiensinya dengan zat warna. Zat warna ini diekstrak dari tanaman, seperti bayam dan sayur-sayuran hijau lainnya, demikian penjelasan Dr. Pornsinsirirak. Selain sel surya, NANOTEC juga mengembangkan hidung elektronik yang akan diaplikasikan di industri kopi, untuk menguji kualitas aroma kopi secara lebih konsisten dibandingkan uji kualitas dengan hidung manusia. Biosensor berupa konjugat bahan latex (dari karet) dengan antibodi pun tengah dikembangkan. Selain itu, juga dalam bidang biosensor, mereka tengah mengembangkan deteksi cepat bacteria dengan nanopartikel konjugat semikonduktor flouropheres. Untuk mendukung industry gula-tebunya (Thailand adalah pengekspor gula tebu nomor 2 terbesar di dunia setelah Brazil), NANOTEC mengembangkan pula keping mikrofluidik (microfluidic chip) untuk sensor glukosa, dengan immobilisasi ezim glucose oxidase.

Menurut penuturan Dr. Pornsinsirirak, kunjungan mereka ke Eropa kali ini adalah untuk menjajagi kemungkinan perluasan infrastruktur mereka untuk merambah bidang nanodevais yang mesti dibuat dengan metode top-down atau pemrosesan kering yang meminjam prosesnya dari teknologi mikroelektronika.

Sekalipun baru berumur empat tahun lebih sedikit, penulis berkesimpulan bahwa Thailand dengan unsure pemerintah, akademis, dan industrinya bersungguh-sungguh dalam perencanaan dan pengembangan nanoteknologi berkelas dunia dengan aplikasi yang sangat membumi untuk Negara Thailand. Strategi Thailand dengan memusatkan infrastrukturnya kemudian mendayagunakannya secara sharing amat tepat untuk menghemat biaya riset dan pengembangan nanoteknologi. Di samping itu, ada keinginan kuat dan gigih untuk membina sumber daya manusia mereka dengan menyekolahkannya di Amerika Serikat, Jepang, dan dalam negeri Thailand sendiri, serta mengembangkan kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian serupa di luar Thailand.

Sungguh sangat baik apabila Indonesia dapat belajar dari pengalaman Thailand ini, untuk merencanakan dan mengembangkan road map nanoteknologi nasional Indonesia yang didukung semua unsur yang terlibat: pemerintah, dunia akademis, dan dunia

Energi Angin

Pembangkit listrik tenaga angin mini 400 watt, 500 watt dan 1000 watt, sudah terbukti dapat memberikan solusi bagi daerah2 pedalaman yang tidak terjangkau PLN, instalasinya mudah dan dapat dilakukan sendiri. Dibanding dengan solar cell, pembangkit ini jauh lebih murah untuk daya yang sama, kira2 hanya 1/4 harga solar cell, bedanya untuk pembangkit energi angin daya minimumnya 400 watt, sedang untuk solar cell ada yg hanya 50wp, bahkan 25wp. alat ini sudanh banyak digunakan di daerah Riau, Bengkalis, Bengkulu

Energi baru telah datang!!!!

Peneliti di Yogyakarta berhasil menemukan bahan bakar berbahan air. Ada empat jenis: pengganti minyak tanah, bensin, solar, dan avtur. Siap diproduksi secara massal. Harga minyak dunia menembus angka US$ 102,08 per barel, Rabu pekan lalu. Harga minyak yang membubung itu bikin subsidi melambung. Pemerintah pun menjadi bingung. Bayangkan, subsidi untuk BBM tahun 2007 saja mencapai Rp 50,64 trilyun.
Sungguh beban yang amat berat hagi pemerintah yang sekarang ini terus mengalami defisit anggaran.

Sementara kabar mendung itu berembus, titik terang datang dari Yogyakarta. Tim peneliti dari Pusat Studi Pengembangan Energi Regional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) berhasil melakukan riset bahan bakar berbahan dasar air. Hasil penelitian itu berupa bahan bakar pengganti minyak tanah, solar, bensin, dan avtur.

Atas penemuan itu, UMY akan mengadakan grand launching tentang bahan bakar yang dinamai Banyugeni itu, April mendatang. Pada saat itulah proses pembuatan Banyugeni akan dibeberkan secara lebih lengkap dan siap digunakan dalam skala besar. “Pada saat ini sedang dalam masa fabrikasi,” kata Rektor UMY, Khoiruddin Bashori.

Khoiruddin menyatakan, hydrofuel sangat menjanjikan sebagai alternatif energi. Bahkan Banyugeni siap diproduksi secara komersial untuk industri dan kepentingan masyarakat luas. “Untuk membantu rakyat kecil,” katanya.

“UMY ingin memberikan hasil penelitian ini untuk seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia. Soal bahan baku, sangat melimpah di sekitar kita,” ia menegaskan. Sebab bahan baku Banyugeni yang paling pokok adalah air. Bisa menggunakan air tawar ataupun air laut. Sebelumnya, UMY menggelar soft launching di kampus UMY, Jalan Ring Road Barat, Bantul, Yogyakarta, 13 Februari silam.

Dalam acara itu dilakukan penyalaan lampu dan kompor minyak menggunakan hydro-kerosene (pengganti minyak tanah) Banyugeni. Nyala lampu maupun kompor berwarna kemerahan dan tidak menimbulkan asap jelaga berlebihan.

Untuk hydro-diesel (kembaran solar) dan hydro-premium (setara bensin), percobaan dilakukan dengan menggelontorkannya ke tangki traktor dan sepeda motor. Ketika traktor distarter, asap hitam mengepul dari cerobong traktor saat pertama kali menyala, selanjutnya bening. Knalpot sepeda motor yang menyalak juga tidak menimbulkan asap lengas.

Sedangkan hydro-avtur (pengganti avtur) dijajal di Lembaga Pendidikan dan Latihan Penerbangan Surakarta, menggunakan pesawat ultra-ringan tipe Jora, 11 Februari 2008. Mesin Rotax 582 ternyata mudah beradaptasi dengan hydro-avtur. UMY memperoleh surat resmi dari lembaga tadi yang menyebutkan bahwa hydro-avtur Banyugeni bisa digunakan untuk menerbangkan pesawat. “Dalam surat itu juga disebutkan, baik untuk start engine maupun power memuaskan,” kata Khoiruddin.

Uji coba berlangsung lancar. “Penelitian ini menggunakan air laut karena kalau menggunakan air tanah akan berbenturan dengan kepentingan manusia,” tutur Purwanto, seorang peneliti. Dia menjelaskan, pada hakikatnya air (H20) adalah api.Jika atom 2H20 terpecah menjadi 2H2 dan 02, maka H2 bisa menyala, bahkan bisa meledak. Sedangkan 02 merupakan komponen pembakar.

“Tak ada api tanpa oksigen. Dari teori seperti ini, maka bukan hal aneh membuat bahan bakar dengan bahan dasar air. Jika temuan ini diproduksi secara massal, persoalan bahan bakar bukan lagi masalah utama di negeri kita,” Purwanto optimistis. Selain Purwanto, penelitian juga dilakukan oleh Bledug Kusuma Prasadja, Tony K. Haryadi, Lilik Utari, dan Nike Triwahyuningsih.

Nike Triwahyuningsih menjelaskan bahwa semua jenis air bisa diolah menjadi hydrofuel setelah melalui proses pemurnian air. Air murni merupakan bahan dasar Banyugeni. Untuk memperolehnya, dari satu liter air tanah, setelah dimurnikan, akan diperoleh 0,5 liter air murni. Untuk air laut, volume air murni yang diperoleh bisa lebih banyak.

Limbah hasil proses pemurnian ini pun masih bisa dimanfaatkan, misalnya untuk pupuk atau aspal. Proses pemurnian air ini lazim disebut demineralized water alias demin water. Pertamina juga memproduksi air murni melalui Water Treatment Unit Pengolahan III Plaju, Palembang. Air murni produksi Pertamina Plaju diproses dengan metode pertukaran ion (ion exchange) menggunakan ion exchange resin sebagai media penukar ion.

Ion adalah atom bermuatan listrik positif maupun negatif. Ion dalam pemurnian air berfungsi sebagai pengikat mineral. Demin water adalah air murni dengan kandungan mineral sangat kecil. Pertamina Plaju memproduksi 45.270 meter kubik air murni per tahun. Dalam bidang kedokteran, air murni biasanya digunakan untuk mengobati pasien gagal ginjal.

Sedangkan untuk menghasilkan bahan bakar dan air murni, para peneliti memakai teknologi mekanotermal-elektrokemis yang mencakup empat macam proses, yaitu mekanik (gerak), termal (panas), listrik, dan kimiawi. Perpaduan keempat proses itu dengan bahan baku air murni menghasilkan empat produk bahan bakar. Menurut Bledug Prasojo, hydrofuel sangat hemat.

Dari satu liter air murni dapat tercipta bahan bakar yang jumlahnya kurang lebih sama. “Penyusutannya sedikit, sekitar 10��� ujarnya. Air yang digunakan adalah air biasa atau air tawar. Air laut juga bisa digunakan, tapi harus melewati fase penyulingan terlebih dahulu.

Meskipun terbuat dari air, toh bahan bakar hydro tidak menyebabkan karat (korosif). Kelebihan lain, emisinya sangat rendah. Tidak hanya lewat pantauan indra, melainkan juga melalui uji laboratorium. Produk ini sudah diuji di PT CoreLab Indonesia, laboratorium internasional yang independen. Hasilnya menunjukkan, empat varian Banyugeni telah memenuhi standar Dirjen Migas.

Menurut hasil uji laboratorium, selain tidak korosif, residu pada hydropremium sangat rendah. Standar baku menetapkan 2,0�olume hydro-premium mencatatkan residu pada nilai 0,5�Kandungan pencemar lainnya juga tipis. Bahkan kandungan timbalnya hampir nol.

Seperti saudaranya, hydro-avtur juga tidak korosif dan beremisi rendah (total sulfurnya hanya 10�ari maksimal yang dipersyaratkan). Ia juga tidak mudah membeku (freezing point minus 45 derajat celsius). Ketahanan terhadap pembekuan memang penting bagi bahan bakar pesawat. Sebab, jika pesawat terbang tinggi, suhu udara yang mengelus pesawat bisa mencapai minus 25 derajat celsius.

Hydro-diesel juga tidak korosif, beremisi rendah, dan tidak meninggalkan residu berlebihan. Itu pula yang dicatatkan hydro-kerosene. Bahan bakar rakyat itu, selain tidak korosif, juga tak beracun.

Setelah lulus dari rangkaian ujicoba itu, menurut Bledug, penelitian hydrofuel sudah final. Namun, untuk memproduksi secara massal dan komersial, ada serangkaian proses lebih lanjut. Tentu harus pula melibatkan pabrikan yang bisa memasok bahan baku air murni.

“Harus melalui perhitungan-perhitungan rumit. Tim peneliti harus berkumpul lagi dan merumuskan rancangan-rancangannya,” Bledug menegaskan. (GATRA, 12 Maret 2008/ humasristek