Kamis, 27 November 2008

EGS dan masa depan energi panas bumi di Indonesia

Sumber panas bumi (sumber: NREL USA)Akhir tahun 2006 yang lalu MIT dengan sponsor dari Departemen Energi AS merilis laporan mengenai EGS (enhanced geothermal system) yang diberi judul The Future of Geothermal Energy. Laporan yang disusun oleh berbagai ahli di bidang teknologi energi, ekonomi dan lingkungan tersebut menyimpulkan bahwa dengan memanfaatkan EGS, energi panas bumi akan mampu menyumbang 10% kebutuhan listrik di AS pada tahun 2050. Jumlah ini setara dengan pembangkit listrik beban dasar dengan kapasitas 100 GWe. Bahkan laporan tersebut juga menyebutkan, dengan pengembangan teknologi lebih lanjut, jumlah energi yang secara ekonomis dapat dimanfaatkan bisa meningkat hingga 10 kali lipat dari yang ada saat ini. Dengan demikian, menurut laporan tersebut, EGS bisa menjadi sumber energi pilihan yang berkelanjutan hingga berabad-abad.

Seperti diketahui, energi panas bumi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber energi terbarukan yang lain, diantaranya: (1) hemat ruang dan pengaruh dampak visual yang minimal, (2) mampu berproduksi secara terus menerus selama 24 jam, sehingga tidak membutuhkan tempat penyimpanan energi (energy storage), serta (3) tingkat ketersediaan (availability) yang sangat tinggi yaitu diatas 95%. Namun demikian, pemulihan energi (energy recovery) panas bumi memakan waktu yang relatif lama yaitu hingga beberapa ratus tahun. Secara teknis-ekonomis, suatu lokasi sumber panas bumi mampu menyediakan energi untuk jangka waktu antara 30-50 tahun, sebelum ditemukan lokasi pengganti yang baru.

Panas bumi yang selama ini dimanfaatkan untuk pembangkit listrik masih terbatas pada sumber-sumber yang dikategorikan ideal atau high-grade hydrothermal system. Secara umum sumber panas bumi seperti ini memiliki karakteristik seperti kedalaman reservoir yang relatif dangkal atau kurang dari 2.500 meter, memiliki kandungan uap dengan enthalpi relatif tinggi dan serta memiliki permeabilitas yang memenuhi syarat.

Definisi EGS menurut laporan ini meliputi semua sumber panasbumi yang saat ini belum dieksploitasi secara komersial dan membutuhkan rangsangan serta penyempurnaan teknologi lebih lanjut. Definisi ini juga mencakup sumber hidro-termal yang memiliki permeabilitas rendah dan yang selama ini dianggap tidak produktif. Sebagai tambahan, produksi uap panas yang merupakan hasil sampingan pada operasi pengeboran minyak dan gas juga dimasukkan sebagai salah satu jenis EGS non-konvensional.

Dengan EGS, energi panas bumi dapat dieksploitasi pada lokasi yang saat ini dianggap tidak potensial. Hal ini dilakukan antara lain dengan dengan melakukan penyempurnaan teknologi pengeboran, pengkondisian reservoir serta penyempurnaan teknologi konversi. Teknologi EGS yang ada saat ini telah dipakai pada pengeboran hingga kedalaman 3.000 - 5.000 m. Di masa yang akan datang, diharapkan pengeboran dapat dilakukan hingga kedalaman 6.000 sampai 10.000 m. Pengkondisian reservoir untuk sumber panas bumi yang memiliki permeabilitas rendah dilakukan dengan cara menciptakan retakan (fracture) dalam volume yang luas yang sehingga memungkinkan transfer panas yang lebih besar dan efektif. Teknologi konversi juga telah ditingkatkan untuk mendapatkan transfer panas yang lebih efisien.


Enhanced geothermal system (Sumber: Geothermal Explorers Ltd)

Sekalipun demikian, masih ada sejumlah tantangan teknologi yang masih harus diatasi. Di bidang pengeboran misalnya, diperlukan teknologi yang mampu beroperasi dalam lingkungan dengan suhu tinggi dan korosif serta dengan sifat batuan yang cenderung lebih keras. Di bidang pengkondisian reservoir diperlukan antara lain: teknologi untuk mengkaji secara akurat volume dan bidang transfer panas reservoir, peralatan ukur yang mampu beroperasi pada suhu tinggi, penelitian yang lebih detail mengenai interaksi air dan batuan, teknologi pengendalian aliran fluida dengan suhu tinggi serta pemodelan reservoir yang lebih akurat. Pada sisi konversi, penyempurnaan perlu dilakukan antara lain dengan cara mengaplikasikan kondisi operasi superkritis dan memanfaatkan produk sampingan uap panas dari operasi pengeboran minyak dan gas. Mengingat teknologi EGS memiliki kemiripan dalam banyak hal dengan teknologi yang dipakai dalam industri pengeboran minyak dan gas, para ahli yang menyusun laporan tersebut yakin bahwa tantangan-tantangan tersebut dapat diatasi dengan lebih mudah dan dengan biaya yang lebih rendah.

Laporan ini tentu sangat penting bagi Indonesia, mengingat besarnya potensi panas bumi di negeri kita yang saat ini diperkirakan mencapai 27 GWe. Angka ini setara dengan 40 persen sumberdaya panasbumi dunia dan ini baru meliputi potensi panas bumi konvensional. Dengan teknologi EGS potensi tersebut sangat mungkin ditingkatkan menjadi 5 kali lipat, atau lebih dari 125 GWe. Katakanlah, hingga 25 tahun yang akan datang 50 persen dari potensi tersebut bisa dimanfaatkan, maka pada 2030 diperkirakan energi panas bumi mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan listrik Indonesia. Jika hal ini berhasil diwujudkan, dan dengan dukungan pengembangan sumber daya energi terbarukan yang lain, maka jaminan ketersediaan sumber energi listrik yang berkesinambungan bagi Indonesia akan teratasi.

Informasi terkait:

Tidak ada komentar: